Right Of Self Determination - Give Back For The PATANIAN Entire Land

Selasa, April 22, 2014

Gagasan Siamisasi Berupa Freemasonry Keatas Bangsa Patani

Freemasonry di Thailand Selatan

Aliran Freemasonry dimasukkan oleh orang-orang Inggris dan Perancis yang ingin menguasai Siam sehingga menimbulkan krisis Siam. Krisis Siam mulai 1893-1896 M.

Pridi Bananmyong
Freemasonry yang dimasukkan oleh orang Siam, berupa gagasan-gagasan sekularisasi yang diteri-manya manakala orang-orang Siam itu belajar di luar negeri seperti di Inggris. Diantara orang Freemasonry yang terkenal di Siam adalah Pridi Banamyong dan Phya Bahol Sena atau Bahol Balabayuha pada 1955 M.

Di Thailand Selatan, bangsa Melayu Patani dan dianggap sebagai api dalam sekam, karena itu pemerintah Thailand berusaha menggunakan taktik Freemasonry menghancurkannya sedikit demi sedikit.

Daerah yang sekarang disebut Thailand Selatan pada masa dahulu berupa kesultanan-kesultanan yang merdeka dan berdaulat, diantara kesultanan yang terbesar adalah ‘Patani’.

Pada abad ke empat belas masuklah Islam ke kawasan itu, raja Patani pertama yang memeluk Islam ialah Ismailsyah. Pada 1603 kerajaan Ayuthia di Siam menyerang kerajaan Patani namun serangan itu dapat digagal-kan. Pada 1783 Siam pada masa raja Rama I Phra Culalok menyerang Patani dibantu oleh oknum-oknum orang Patani sendiri, Sultan Mahmud pun gugurlah, meriam Sri Patani dan harta kerajaan dirampas Siam dan dibawa ke Bangkok.

Maka Tengku Lamidin diangkat sebagai wakil raja atas perintah Siam tetapi kemudian ia pun berontak lalu dibunuh dan digantikan Dato Bangkalan tetapi ia pun memberotak pula.

Pada masa raja Phra Chulalongkorn tahun 1878.M Siam mulai mensiamisasi Patani sehingga Tengku Din berontak dan kerajaan Patani pun dipecahlah dan unit kerajaan itu disebut Bariwen. Sebelum peristiwa itu terjadi sesungguhnya pada 1873 M Tengku Abdulqadir Qamaruzzaman telah menolak akan penghapusan kerajaan Patani itu. Kerajaan Patani dipecah dalam daerah-daerah kecil Patani, Narathiwat, Saiburi, Setul dan Jala.

Pada 1909 M Inggris pun mengakui bahwa daerah-daerah itu termasuk kawasan Kerajaan Siam. Dan pada tahun 1939 M, Nama Siam diganti dengan Muang Thai.


Siamisasi Sejalan Freemasonry 

Bahasa Siam menjadi bahasa kebangsaan di kawasan Selatan, di sekolah-sekolah merupakan bahasa resmi, tulisan Arab Melayu digantikan tulisan Siam yang berasal dari Palawa.

Pada 1923 M, beberapa Madrasah Melayu yang dianggap membangun martabat bangsa Melayu ditutup, dalam sekolah-sekolah Melayu harus diajarkan pendidikan kebangsaan dan pendidikan etika bangsa yang diambil dari inti sari ajaran Budha.

Pada saat-saat tertentu anak-anak sekolah pun harus menyanyikan lagu-lagu bernafaskan Budha dan kepada guru harus menyembah dengan sembah Budha. Kementrian pendidikan memutar balik sejarah : dikatakannya bahwa orang Melayu itulah yang jahat ingin menentang pemerintahan shah di Siam dan menjatuhkan raja.


Orang-orang Melayu tidak diperbolehkan mempu-nyai partai politik yang berasas Melayu bahkan segala organisasi pun harus berasaskan: ‘Kebang-saan’. Pemerintah pun membentuk semacam pangkat mufti yang dinamakan Culamantri, biasanya yang diangkat itu seorang alim yang dapat menjilat dan dapat memutar balik ayat sehingga ia memfatwakan haram melawan kekuasaan penjajah Siam Thai Budha.

Pada saat-saat tertentu dipamerkan pula segala persenjataan berat, alat-alat militer. Lalu mereka mengundang tokoh-tokoh orang Melayu untuk melihat-lihat, dengan harapan akan tumbuh rasa takut untuk berontak. Akan tetapi orang-orang yang teguh dalam semangat ‘Nasionalis’ itu tetap berjuang  menegakkan kemerdekaan sebuah negeri yang berdaulat berasas Melayu Patani Merdeka atau semacam ‘Republik Patani’ yang independent.

Senin, April 21, 2014

Rakyat Menjadi Korban Kambing Hitam..!!

Sistem pemerintahan di bawah kolonial Siam-Thailand mula perlahan-lahan mengalami ‘distrust’ alias kehilangan kepercayaan, secara sistemik oleh rakyat Melayu Patani. 
Rakyat Patani terus mengalami erosi dan kehilangan ‘trust’, dari waktu ke waktu. 
Sorotan yang paling utama dari rakyat Patani, tak lain, gagalnya pemerintah Siam-Thailand mewujudkan dan menegakkan supremi hukum. Hukum dikangkangi oleh kekebalan yang hanya bisa menekuk dengan telanjang para penegak keadilan di negeri ini.
Semua kasus pelanggaran hukum oleh aparat tentera terhadap warga Melayu Patani, tetap kekebalan, yang tak pernah bisa tertembus oleh apapun, di negeri ini. 

Korban Kambing Hitam

Pendekatan yang diambil otoritas Thailand untuk mengatasi konflik hingga tahun 2014 jejak selama sepuluh tahun di provinsi Selatan dianggap terlalu berlebihan. 

Bertepatan dengan sepuluh tahun berawal tahun 2004 konflik berdarah di tiga provinsi Thailand Selatan, yakni Pattani, Yala, Narathiwat, dan sebagian daerah provinsi Songkla.

Secara konsiste, pemerintah perlu meredakan konflik dengan pendekatan hukum. Pemerintah harus mengakhiri kekerasan dan tindakan sewenang-wenang terhadap orang- orang yang dituduh terlibat dalam konflik ini.

Karena sejauh ini pemerintah memasukkan sejumlah laki-laki etnis Melayu ke dalam daftar hitam dan menuduh mereka bersalah tanpa alasan yang jelas. Pemerintah juga sering kali menahan tersangka tanpa memberi akses kepada pengacara dan penerjemah.

Ironisnya, pemerintah selalu menjelaskan, mereka yang dimasukkan ke dalam daftar hitam memang diyakini terlibat pemberontakan. ”Pemerintah berupaya memisahkan ’orang- orang jahat’ dari orang-orang yang baik,” katanya.

Namun demikian, Pemerintah Thailand mengakui telah membuat sejumlah kesalahan dalam menangani pemberontakan. Dan banyak kes yang menuduh tentara terlibat kekerasan terhadap kelompok sipil, yang seharusnya pemerintah agar menyelidiki kasus-kasus kekerasan itu dan menghukum siapa pun yang terlibat.

Baru-baru ini “Kes Tembakan Seorang Ayah dan Anak di Bennang Seta (17/04), Warga Desa Menuding Skuad Tentera Pelaku''. Lihat di: http://www.deepsouthwatch.org/ms/node/5602.

Sampai sekarang pemerintah masih gagal menginvestigasi pelanggaran HAM, baik yang dilakukan gerilyawan maupun pasukan keamanan. Mereka memperingatkan bahwa warga di provinsi yang bertikai telah kehilangan kepercayaan kepada pemerintah sebab pemerintah gagal menyelidiki kasus-kasus penyerangan terhadap warga sipil, khusus pada warga Melayu yang menjadi mangsa kekerasan.

Walhasilnya, pemerintah harus untuk segera mencabut kekebalan yang dimiliki tentara sehingga mereka tidak bisa dituntut secara hukum meski melanggar HAM. Kekebalan itu dinikmati tentara setelah pemerintahan Thailand mengeluarkan dekrit darurat pada Juli 2005 lalu. Dekrit itu memberi kekuasaan penuh kepada pemerintah untuk menangani konflik termasuk dengan cara menahan tersangka tanpa surat penahanan. Ramai diantara warga etnis Melayu menjdai mangsa Kambing Hitam..!!, ada diantaranya yang dilaporkan hilang atau dihilangkan.

HRW telah menegaskan  seruannya bagi penyelidikan yang kredibel dan imparsial yang bisa dipercayai atas tuduhan pelanggaran hukum humaniter dan HAM internasional oleh petugas keamanan dan pasukan milisi di Selatan. 

Petugas sering gagal untuk menjaga keluarga korban, memberitahu perkembangan penyelidikan dan menjaga keluarga korban dari frustasi sangat mengecewakan. Sementara dalam beberapa kasus pemerintah memberikan kompensasi atau pampasan berupa uang kepada keluarga korban, namun uang tidak bisa dianggap sebagai pengganti keadilan.

Kamis, April 17, 2014

PERANG & DAMAI: Hak Menentukan Nasib Sendiri

Perang & Damai

Karena sejarahnya, situasi di PATANI lebih rumit. Kerajaan Siam (kini Thailand), menyerbu Patani tahun 1782 dan menjadikannya daerah ''setengah jajahan''. Sultan Patani dibiarkan tetap bertahta. Namun, seperti dilukiskan dalam cerita tutur setempat, sejak itu, setiap tahun ia harus mengantar ''kembang emas dan Perak ke Siam''. Kesultanan Patani benar-benar putus setelah Siam melakukan ekspedisi militer kedua 1902.

Dari bekas tanah kerajaan itu, kini setidaknya muncul lima provinsi yaitu Narathiwat, Pattani, Songkhla, Yala, dan Setun, yang meliputi wilayah 20.818 km2. Penduduknya 3,13 juta jiwa (2000) dan bangsa Melayu menjadi majority di sana. Sejarah perlawanan Patani dimulai sejak seabad lalu, tapi selalu ditumpas habis oleh colonial tentara Siam-Thailand.

Kisah pilu berlanjut saat Siam berada dalam pengaruh kelompok fasis Jenderal Phibum Songkram, sekutu Jepang dalam Perang Pasifik. Ia memberlakukan Dekrit Kebudayaan Thai Ratthanyom di tahun 1939. Semua warga negara wajib mengikuti budaya nasional Siam. Bangsa Melayu dilarang mengenakan busana Teluk Belanga dan tak boleh berbicara Melayu dalam acara resmi. Bagi para warga Patani, dekrit Thai Ratthanyom tak pernah benar benar dicabut, bahkan hingga era saat ini. Mereka merasa teraniaya secara politik, ekonomi, dan kultural. Meski mengalami pasang surut, pergerakan di Patani tak pernah berhenti. Bangsa Patani terus bangkit lawan. Mereka menuntut haknya secara independent berlandasan piagam internasional bahwa memberi hak kebebasan sebuah negara yang berada dibawah kolonial.


Bangsa Patani Dalam Hak Menentukan Nasib Sendiri

Pada saat ini, hukum internasional telah mengakui (“recognized”) hak untuk menentukan sendiri (“right to self-determination”) sebagai salah satu hak asasi manusia (HAM) dan berdasarkan hak ini semua bangsa (“peoples”) bebas untuk menentukan status politik dan mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya.”(a) Namun, dalam konteks hukum internasional kemerdekaan sebagai wujud dari hak untuk menentukan nasib sendiri “right to self-determination” (dalam bidang ekonomi, politik, dsb.) dimaksudkan untuk membebaskan diri dari penjajahan dan dominasi/kekuasaan asing. Hak tersebut hanya dapat digunakan sekali dan tidak dapat diterapkan terhadap bangsa (“peoples”) yang telah terorganisasi di dalam bentuk suatu negara yang tidak berada dalam penjajahan dan dominasi asing.

Masalah hak untuk menentukan nasib sendiri ‘Bangsa Patani’ merupakan suatu fenomena yang menarik untuk didiskusikan. Berkaitan dengan hal tersebut, sejumlah pertanyaan dapat dikemukakan, antara lain, yaitu: bagaimana hukum internasional mengatur masalah hak untuk menentukan nasib sendiri; bagaimana legalitas untuk menentukan nasib sendiri Bangsa Patani menurut hukum internasional; apakah ada keharusan bagi negara-negara lain untuk mengakui ‘Bangsa Patani’ sebagai negara baru; bagaimana hukum internasional mengatur masalah pengakuan bagi negara baru.

Hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan suatu prinsip hukum internasional yang dapat ditemukan sebagai norma dalam berbagai perjanjian internasional tentang hak asasi manusia (HAM) tertentu dan hak ini menyatakan bahwa semua negara (“all states”) atau bangsa (“peoples”) mempunyai hak untuk membentuk sistem politiknya sendiri dan memiliki aturan internalnya sendiri; secara bebas untuk mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri; dan untuk menggunakan sumber daya alam mereka yang dianggap cocok. Hak untuk menentukan nasib sendiri adalah hak dari suatu masyarakat kolektif tertentu seperti untuk menentukan masa depan politik dan ekonominya sendiri dari suatu bangsa, tunduk pada kewajiban-kewajiban menurut hukum internasional.

Dalam berbagai literatur hukum internasional belum didefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan bangsa (“peoples”) dalam rangka menuntut (“claiming”) hak untuk menentukan nasib sendiri. Terdapat banyak kontroversi dan kebingungan dalam hal ruang lingkup (“scope”) dan penerapan dari hak ini.

Namun demikian hak untuk menentukan nasib sendiri secara normatif telah diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional, antara lain, yaitu: Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB; Pasal 1 ayat (1) “International Covenant on Civil and Political Rights” dan “International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights”; Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 (XV) 14 Desember 1960 tentang Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada Bangsa dan Negara Terjajah; Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 (XXV) 24 Oktober 1970 mengenai Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Kerjasama dan Hubungan Bersahabat di antara Negara-negara dan Hubungan Bersahabat sesuai dengan Piagam PBB.

Dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 1514/1960 dan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (CCPR) memang tidak dibedakan antara “right to” dan “right of self-determination”. Juga dalam praktek, keduanya digunakan secara rancu. Sebenarnya terdapat dua jenis atau tingkatan penentuan nasib sendiri, yaitu: 1. “Right to self-determination”, yang merupakan hak yang bersifat sekali dan tidak dapat dipecah, untuk membentuk suatu negara (atau integrasi atau asosiasi); 2. “Right of self-determination”, yang merupakan hak yang bersumber dan merupakan konsekuensi dari “right to self-determination”, yaitu hak untuk menentukan bentuk negara (republik atau kerajaan), sistem pemerintahan (presidensiil atau parlementer), sistem ekonomi (“centrally planned economy” atau “market economy”, liberal atau terkontrol dan terkontrol) atau sistem budaya tertentu, yang semuanya bersifat pengaturan ke dalam atau urusan dalam suatu negara.(a)

Dengan demikian maka, pelaksanaan “right to self-determination” yang diwujudkan melalui kemerdekaan dalam rangka membentuk atau mendirikan negara (“state”), baik untuk membebaskan diri dari penjajahan, maupun untuk berintegrasi atau berasosiasi dengan negara yang lain. Hal itu dilakukan hanya sekali dan untuk selamanya.

Sedangkan, pelaksanaan “right of self-dertermination” dapat diwujudkan melalui berbagai tindakan negara yang ditujukan ke dalam yang merupakan wewenang dari suatu negara berdaulat. Contohnya, integrasi negara Jerman Timur dengan Jerman Barat. Pemisahan dengan negara induk (“seccession”) juga dimungkinkan berdasarkan suatu perjanjian bilateral (“bilateral agreement”), tetapi bukan dalam rangka disintegrasi sebagai akibat dari tindakan separatisme. Hal itu misalnya, disintegrasi dari 15 negara yang awalnya tegabung dalam Uni Soviet dan kemudian memisahkan diri menjadi negara yang berdiri sendiri dan tergabung dalam kelompok Persemakmuran Negara-negara Merdeka (“Commonwealth of Independent Sates”/CIS).    

Kemerdekaan merupakan salah satu perwujudan dari hak untuk menentukan nasib sendiri. Menurut Charkes G. Fenwick kemerdekaan dapat diartikan dalam dua pengertian yaitu, kemerdekaan ke dalam dan keluar. Kemerdekaan ke dalam (“internal independence”) meliputi dua aspek, yaitu kemerdekaan yang berkaitan dengan kebebasan dari negara untuk mengurus masalah-masalah dalam negerinya dan masalah-masalah lainnya mengenai kebebasan yang dilakukannya dengan negara-negara lain. Adapun kemerdekaan keluar (“external independence”), yaitu berkaitan dengan kekuasaan terbesar dari negara untuk menentukan hubungan yang dikehendaki dengan negara lain tanpa campur tangan dari negara ketiga.(c)

Negara di samping mempunyai hak kedaulatan maupun kemerdekaanya ia juga mempunyai yurisdiksi sepenuhnya terhadap wilayah atau wilayah-wilayahnya sebagai satu kesatuan yang menyeluruh. Dengan demikikan maka negara tersebut mempunyai hak yang penuh dalam mempertahankan keutuhan wilayahnya (“territorial integrity”) dari segala ancaman baik dari dalam maupun dari luar. Karena itu dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh kekuasaan negara atau yurisdiksinya terhadap berbagai wilayahnya tersebut merupakan kelengkapan dan eksklusif. Dikatakan lengkap karena negara tersebut dapat mempunyai akses terhadap semua wilayah negara, termasuk semua penduduk yang berada di wilayah itu, tanpa memandang nasionalitasnya. Di samping itu, yurisdiksi terhadap wlayahnya bersifat eksklusif, artinya tidak ada pihak manapun termasuk negara lain yang mempunyai hak untuk memaksakan yurisdiksinya terhdap wilayahnya. Dengan demikian, tanpa mengurangi prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku, wlayah suatu negara tidak bisa diganggu-gugat (“the inviolability of territories of states”).(d)

-----------------------------
(a) Hal tersebut, antara lain, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) “International Covenant on Civil and Political Rights”/ICCPR, yaitu: “All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development.”
(b) Hassan Wirajuda, Indigenous People Internal Self-Determination (Pribumi dan Otonomi dalam Mengatur Urusan Sendiri), dalam Sugeng Bahagijo dan Asmara Nababan, (edit.), Hak Asasi Manusia Tanggung Jawab Negara Peran Institusi Nasional dan Masyarakat, Jakarta: Komnas HAM, 1999, hlm. 126-127. Dijelaskan pula, bahwa pembedaan antara “right to self-determination” dan “right of-determination” merupakan pemikiran dari Prof. Leo Gross dari “Fletcher School of Law and Diplomacy”.  
(c) Charkes G. Fenwick, International Law, 4th Edition, New York: Appleton Century Croft, 1965, hlm. 296-297.
(d) Sumaryo Suryokusumo, Hak Negara untuk Mempertahankan Keutuhan Wilayahnya menurut Hukum Internasional, makalah yang disampaikan pada: “Seminar Nasional tentang Kewenangan Negara dalam Menjaga “National Unity” dan “National Integrity” menurut Hukum Internasional”,  diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia (terAs) Fakultas Hukum Universitas Trisakti, tanggal 15 Juli 2002, di Jakarta.

Kamis, April 10, 2014

Selatan Gucang Bom..!! PM Yingluck Shinawatra Cemas

Beberapa ledakan bom terkoordinasi mengguncang kota Yala yang dihuni etnis Melayu di Thailand Selatan pada hari Ahad, (06/04), disusuli esok hari (07/04) mengingatkan pemerintah pusat Thailand bahwa pertempuran selama satu dekade ini masih terus berlanjut.

Sebuah bom mobil ledakan dahsyat mengguncang wilayah Yala, serangan yang terjadi di siang hari bolong, sebagaimana dilansir oleh Bangkok Post.

Bahan peledak yang ditanam di dalam sebuah truk pickup yang diparkir meledak di wilayah toko perabotan di jalan raya Siroros, 200 meter dari persimpangan Coliseum di daerah yang ramai di kota Yala, Col Pramote Prom-in, juru bicara komando depan dari Operasi Keamanan Dalam Negeri (ISOC), mengatakan tak lama setelah serangan itu.

Sejumlah rumah dan bangunan komersial hancur. Beberapa ruko yang berada di dekat lokasi ledakan terbakar dan banyak mobil dan sepeda motor yang diparkir rusak akibat ledakan dahsyat tersebut.

Kol Pramote mengatakan bahwa ledakan bom mobil pertama terjadi sekitar pukul 03:50.

Tak lama setelah itu polis setempat, tim penjinak bom dan pemadam kebakaran dipanggil ke tempat kejadian. Sekitar 10 menit kemudian, tiga bom meledak secara bersamaan di pasar Muang Mai di Soi Yim Chinda.

Mobil pemadam kebakaran dikerahkan untuk membantu memadamkan api.

Col Pramote mengatakan bahwa penyelidikan awal polis menemukan truk pickup yang penuh dengan sebuah bom yang diyakini telah dicuri dari pebisnis budidaya udang di Songkhla bulan lalu. Dia mengatakan bahwa petugas penjinak bom belum memverifikasi apa jenis bahan peledak yang digunakan dalam empat bom tersebut.

“Serangan-serangan ini telah berulang kali terjadi selama dua tahun terakhir sejak bom mobil pertama terjadi di Yala pada tanggal 31 Maret 2012, kata Kolonel Pramote.
“Para pelaku pemboman tersebut ingin menghancurkan daerah komersial di Yala.”

Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra, Selasa (8/4), menyatakan khawatir atas situasi di provinsi-provinsi selatan setelah serangan bom di delapan lokasi di Yala dua hari berturut-turut, menewaskan satu orang dan melukai 30 lainnya. Yingluck, sebagai menteri pertahanan sementara, mengatakan ia telah menginstruksikan kepala angkatan bersenjata untuk mencari langkah-langkah guna melindungi zona ekonomi.

Dia mengatakan kepada instansi terkait untuk segera membantu mereka yang terkena dampak pemboman Yala.

Wakil Perdana Menteri sementara Pracha Promnok ditugaskan untuk mengunjungi provinsi-provinsi selatan segera untuk memeriksa situasi.

Sementara itu, Wakil Menteri Pertahanan Thailand Yuthasak Sasiprapha ditugaskan untuk mengunjungi Yala segera guna menindaklanjuti situasi di sana. Jenderal Yuthasak mengatakan bahwa ia percaya serangan-serangan oleh kelompok gerilyawan di Yala bertujuan untuk menantang tentara setelah dilakukan perombakan komandan.

Dalam perombakan militer pertengahan tahun, Letjen Walit Rojanapakdi, komandan pertama kesatuan militer, diangkat menjadi komandan Angkatan Darat Region 4th, menggantikan Letjen Sakol Chuentrakul.

Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan Nasional Paradorn Pattanatabut mengatakan gerilyawan biasanya mengintensifkan serangan mereka selama April sebagai serangan simbolik untuk menarik perhatian bertepatan dengan ulang tahun insiden Masjid Krue Se. 

Sejak bangsa Siam (nama Thailand) menyerbu Kesultanan Melayu Patani menyusul perjanjian Anglo-Siam pada tahun 1909 wilayah selatan Thailand masih bergejolak hingga kini. Tiga provinsi selatan mencakup Yala, Patani dan Narathiwat yang dihuni oleh Melayu menolak bersatu dengan wilayah Thailand.

Perlawanan sipil berubah menjadi perang pada 2004 ketika geriliyawan kemerdekaan Melayu Patani terceteus obor revolusi mencoba kempen besar-besaran kebebasan Melayu Patani dari pemerintah colonial Siam-Thailand.

Sejak konflik dimulai kembali pada tahun 2004, sekitar 6.000 orang tewas, akibat konflik ‘Bangsa’ itu, sementara 10.700 lainnya terluka.




Rabu, April 09, 2014

Bangsa Patani Mencari Kedamaian

Kendati sudah menempati wilayah itu berabad-abad, mereka tetap mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintah kolonial pusat Bangkok. kutipan: ''Pemerintah tidak harus memaksakan kebijakan yang berlaku untuk kelompok minority lainnya dapat diterima oleh warga Melayu di Thailand Selatan. Mereka mempunyai sejarah khusus dan merupakan majority di sana.'' Chayan Vaddhaphuti, antropolog Universitas Chiang Mai


"Untuk itu harus kembali kepada karakter masyarakat Thailand yang lentur untuk mengakomodasi perbedaan sosial dan budaya tersebut," kata Chaiwat Sath-Anand, direktur Pusat Informasi Perdamaian di Universitas Thammasat di Bangkok. 

Seorang tokoh antropologi Thailand memberikan bukti bahwa pejabat pemerintah dan para birokrat punya andil dalam membuat kegelisahan warga Melayu di negara itu yang menyinggung kepekaan budaya dan agamanya. kata Chayan Vaddhanaphuti, antropolog dari Universitas Chiang Mai di Utara Thailand. 

Menurutnya, Pemerintah tidak harus memaksakan kebijakan yang berlaku untuk kelompok minority lainnya dapat diterima oleh warga Melayu di Selatan Thailand sehubungan sejarah khusus mereka dan sebagai majority di provinsi bagian Selatan. "Mereka kurang mengembangkan toleransi dalam soal ini," ujarnya. 

Meski warga bangsa Melayu merupakan minority di Thailand, yaitu enam juta dari seluruh penduduk Thailand yang berjumlah 63 juta, mereka bukan berasal dari 'Etnik' yang sama. Hubungan 'Sejarah' mereka dengan Thailand dan lokasi mereka di negara itu juga berbeda. Kelompok terkecil di antara mereka yang berada di Thailand berasal dari India, Cina Selatan, dan Timur Tengah dan berpusat di Bangkok dan Chiang Mai di Utara. 

Pemerintah Thailand harus memutuskan tiang utama konflik mengenai Bangsa Melayu dalam hal permusuhan dan peperangan untuk suatu kebebasan dimana warga Melayu diterima sebagai warga dengan identity budaya dan bangsa berbeda yang ingin Hidup Damai dengan penuh Kedamaian.

Senin, April 07, 2014

Jejak Teka-Teki Flyers..?

Jejak teka-teki Flyers
Lebaran peredaran luas dalam masyarakat  di Selatan Thailand

Tindakan penyebaran lebaran Flyers ini merupakan tindakan untuk keterangan dan memberi kepercayaan kepada publik yang menyasarkan ketidakpercayaan kepada aparat negara.
Tindakan penyebaran lebaran Flyers ini merupakan tindakan yang menimbulkan ketakutan, untuk keterangan dan memberi kepercayaan kepada publik demi mencapai fakta, dan tujuan menyasarkan ketidakpercayaan kepada aparat negara.

Sejak Februari 2014, Human Rights Watch (HRW) menyatakan bahwa Gerilyawan pembebasan Melayu Patani di provinsi perbatasan Selatan Thailand ini telah menewaskan sedikitnya lima perempuan berbangsa Thai dan memutilasi tiga mayat mereka.

Perlu harus segera mengakhiri serangan mereka yang menargetkan warga sipil yang bisa disebut sebagai kejahatan perang.

“Gerilyawan wilayah selatan membunuh wanita berbangsa Thai dan menyebarkan teror dengan memenggal kepala dan membakar tubuh mereka,” kata Brad Adams, direktur HRW Asia. 

“Klaim yang dilontarkan oleh gerilyawan bahwa mereka membalas pelanggaran yang dilakukan aparat pemerintah suatu pembenaran ketika aparat pemerintah menyerang warga sipil Melayu.”

Pada Rabu (2/4), gerilyawan menyerang sebuah truk pickup di mana kepala desa dari distrik Bannang Sta provinsi Yala mengendarai mobil itu dan mereka membunuhnya bersama dengan dua wakil kepala yang adalah perempuan. Peluru memenuhi tubuh Ear Sitrong (47), kepala desa Ban Kasung Nai Moo 6 ditemukan di dekat mobil pickup tersebut. Chaleaw Pikulklin (50) dan Urai Thabtong (47) yang turut serta dengan mereka juga telah ditembak dengan senapan serbu M16.

Urai telah dipenggal kepalanya dan polis menemukan kepalanya berada di semak-semak di seberang jalan. Sebuah selebaran yang tertinggal di lokasi kejadian menyatakan, “Serangan ini adalah hukuman karena membiarkan Aor Sor (milisi Desa Kementerian Dalam Negeri) melakukan pembunuhan dan penindasan terhadap orang-orang Melayu kami. Bebaskan Patani!!”

Sejak Januari 2004, provinsi perbatasan selatan Thailand Pattani, Yala dan Narathiwat telah menjadi ajang konflik bersenjata yang telah merenggut nyawa ribuan warga sipil dari kedua etnis berbangsa Thai dan populasi 'PATANI' etnis Melayu.

Pada 20 Maret 2014 lalu, gerilyawan menembak dan membunuh Somsri Tanyakaset (39) seorang guru perempuan di Kok Muba Sekolah Persahabatan di distrik Tak Bai provinsi Narathiwat saat dia sedang mengendarai sepeda motornya untuk kembali ke rumah. Guru lain yang adalah seorang perempuan, Siriporn Srichai (43) ditembak mati saat akan bekerja di Tabing Tinggi Community School di distrik Mayo provinsi Patani pada 14 Maret lalu.

Para penyerang menuangkan bensin di tubuh Siriporn dan membakarnya. Sebuah selebaran menyatakan,”Serangan ini adalah balas dendam atas pembunuhan orang yang tidak bersalah,” ditemukan di dekat tubuhnya.

Pada 12 Februari lalu, gerilyawan di distrik Yaring provinsi Pattani menembak mati Sayamol Sae Lim (29), seorang karyawan perempuan dari Bank Bangkok, dan membakar tubuhnya. Sebuah pesan tertulis ditujukan kepada Kepala Staf Angkatan Darat , Jenderal Prayuth Chan-ocha, menyatakan, “Kepala militer yang terhormat, ini bukan mayat yang terakhir setelah tiga mayat bersaudara yang mati.” Pesan ini merujuk pada peristiwa 3 Februari lalu, serangan yang diduga dilakukan oleh Taharn, tentara pasukan paramiliter Pran yang menewaskan tiga saudara Melayu-Muslim masing-masing berusia 6, 9, dan 11 tahun dan melukai orangtua mereka di distrik Bacho provinsi Narathiwat.

Hukum internasional kemanusiaan atau hukum perang yang melibatkan pertempuran di Thailand Selatan melarang serangan yang menargetkan warga sipil, termasuk pejabat pemerintah yang tidak terlibat dalam operasi militer. Perbuatan yang dilarang lainnya, termasuk serangan balasan terhadap warga sipil dan penempur yang tertangkap, eksekusi tahanan, dan mutilasi atau penganiayaan terhadap mayat tersebut. Hukum perang juga melarang tindakan atau ancaman kekerasan yang tujuan utamanya adalah untuk menyebarkan teror di kalangan penduduk sipil.

Gerilyawan mengatakan bahwa dalam hukum agama mengizinkan serangan terhadap warga sipil dalam keadaan tertentu dan tidak mengubah kewajiban hukum internasional.

Sebagian besar insiden kekerasan di provinsi perbatasan selatan Thailand antara Januari 2004 dan Maret 2014 yang mengakibatkan kematian 5.448 jiwa dan 10.118 luka-luka. Warga sipil – baik warga bangsa Thai-Siam dan etnis bangsa Melayu  Patani telah sering menjadi target serangan konflik kedua suku bangsa yang bertikai. 

Kedua gerilyawan dan pasukan keamanan Thailand telah bertanggung jawab atas pelanggaran yang serius di provinsi perbatasan selatan. Berturut-turut pemerintah Thailand telah gagal untuk mengadili setiap anggota pasukan keamanan atau milisi pro-pemerintah atas pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan dan penghilangan paksa. Kurangnya keadilan telah memberi kebebasan gerilyawan terhadap warga sipil.

Perdana Menteri, Yingluck Shinawatra telah berulang kali menyatakan bahwa keadilan adalah kunci untuk perdamaian di provinsi perbatasan selatan. Namun, pemerintah terus memperpanjang keadaan darurat yang secara kejam memfasilitasi pelanggaran yang disponsori negara dengan sewenang-wenangnya. Kekuasaan yang luas dan kekebalan terhadap hukum diberikan kepada aparat keamanan yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia mengakibatkan kemarahan dan keterasingan dalam Comunity etnis Melayu di Selatan Thai.

HRW menegaskan kembali seruannya bagi penyelidikan yang kredibel dan imparsial yang bisa dipercayai atas tuduhan pelanggaran hukum humaniter dan HAM internasional oleh petugas keamanan dan pasukan milisi di Selatan. Pertanyaan oleh polis dan Pusat Administrasi Provinsi Perbatasan Selatan telah berjalan dengan sangat lambat, dengan sedikit hasil yang konkret. Petugas sering gagal untuk menjaga keluarga korban, memberitahu perkembangan penyelidikan dan menjaga keluarga korban dari frustasi dengan mengecewakan. Sementara dalam beberapa kasus pemerintah memberikan kompensasi atau pampasan berupa uang kepada keluarga korban, namun uang tidak bisa dianggap sebagai pengganti keadilan.

“Masyarakat kedua etnis di Thailand Selatan terjebak antara kekerasan gerilyawan maupun pelanggaran yang dilakukan oleh aparat negara,” kata Adams. “Pemerintah harus memahami bahwa melindungi pasukan kasar dari tuntutan memperkuat garis keras adalah sama halnya dengan mengintensifkan kekejaman terhadap warga sipil.”




Sabtu, April 05, 2014

Bahasa Jiwa Bangsa


Secara linguistik, 'lingua franca' yang digunakan oleh rakyat Melayu Patani di Selatan Thailand adalah bahasa Melayu. Hanya sedikit di antara mereka yang berbicara bahasa Thai. Bagi mereka yang mampu berbahasa Thai, jarang ditemui mereka menggunakannya dalam percakapan sehari-hari. 
Bagi bangsa Thai Selatan, penggunaan bahasa Melayu memiliki implikasi kutural yang signifikan karena bahasa mencerminkan identity. Bagi mereka, bahasa merupakan pengikat dan perekat ke-Melayua-an mereka, menyimbolkan dunia mereka, ekspresi emosi dan hubungan sosial di antara mereka. 
Bahasa asal (native language) menciptakan kesadaran yang mampu mengikat Rakyat untuk menjadi lebih dekat dengan tanah leluhur dan mempertahankan loyalty (loyalist:kesetiaan) kepada tanah leluhurnya tersebut. Bagi bangsa Melayu Patani di Thai Selatan, bahasa Melayu adalah bahasa Islam juga  (Dulyakasem, 1984: 218). Bagi masyarakat Patani Selatan Thai “Melayu” adalah bahasa dan nasionalis (nationality); kehilangan bahasa berarti kehilangan identity, yang juga berarti kehilangan Sejarah dan Budaya.

Kamis, April 03, 2014

Dua Pejabat Ditembak, Seorang Dipenggal


Tiga orang pejabat pemerintah Thailand, Rabu (2/4/2014), ditembak mati dan salah seorangnya dipenggal di wilayah bergolak di Thailand Selatan. Demikian keterangan kepolisian.

Ketiga korban tewas itu, seorang kepala desa (RT) dan dua orang asistennya, ditembak saat mengendarai mobil di sebuah kawasan terpencil setelah menghadiri sebuah pertemuan di provinsi Yala, yang menjadi area konflik.

"Salah satu korban, seorang perempuan ditembak lalu dipenggal. Sementara seorang perempuan dan seorang pria lainnya ditembak mati," kata Letnan polis Virasak Suwannadecha.

Serangan itu berlaku seketika rombongan pejabat pemerintah telah menghadiri sebuah pertemuan di daerah Benea-Seta Provinsi Yala, dengan menguna pikup TOYOTA Vigo Warna Biru Gelap bernomor AK-8348 Nara.

Tembakan itu dilepas ketika rombongan pejabat pemerintah tiba di jembatan menuju desa Tanah Putih Daerah Benang-Seta Wilayah Jala. 

Dalam kejadian ini mengakibatkan tiga pejabat pemerintah yang berada dalam mobil tersebut tewas di tempat kejadian antaranya;
1. Eyat Srithong (Ketua)
2. Chaliaw Pikulthong (Wakil/Timabalan I)
3. Urai Thaptong (Wakil/Timabalan II)

Sementara ditempat kejadian itu terdapat sepucuk surat yang tertulis "Ini Adalah Akibat Dari Kalian Yang Membunuh Rakyat Melayu Patani Yang Tiidak Berdosa". Pelaku serangan ini juga melarikan dua laras pistol sebelum menghilangkan dirinya.

Dibahgian wilayah Selatan Thailand yang sebagian besar penduduknya etnis Melayu sudah lama mengobarkan konflik  terhadap pemerintah Bangkok yang sudah memakan 6.000 jiwa antar kedua belah pihak warga Melayu dan warga Siam Thailand.

Rabu, April 02, 2014

Dua Aparat Tentera Kolonial Tewas, Tiga Luka Parah


Para prajurit colonial Thailand berjalan melintasi bangkai mobil pick-up yang hancur akibat serangan bom pinggir jalan oleh geriliyawan Patani di provinsi Narathiwat, Thailand Selatan. Menyebabkan dua orang tewas tiga luka parah (30/03). Sejumlah provinsi di Thailand Selatan selama bertahun-tahun telah menjadi berlaku konflik antar etnis bangsa Melayu Patani melawan pemerintah Bangkok, Siam-Thailand.

Pejuang Pembebasan Melayu Patani dituding menjadi dalang serangan ini dalam upaya mereka mendapatkan kemerdekaan dari penjajahan pemeritah Thailand, yang menganeksasi wilayah yang secara kultur memang berbeda itu lebih dari seabad lalu.

Sebagian besar penduduk Melayu menuduh pemerintah Thailand melakukan pelanggaran HAM dan tidak menghormati etnis, bahasa dan kebudayaan mereka.

Sementara Pembicaraan damai antar pemerintah Siam-Thaialnd dengan pejuang BRN (Bariasan Revolusi Nasional-Patani) untuk sementara ini terhenti akibat krisis politik yang terjadi di Bangkok dalam enam bulan terakhir ini.



Selasa, April 01, 2014

Hari Pemilihan Senat, Kartu Tertulis 'Patani Merdeka'

''Selatan Thailand (Patani) tetap mirip daerah tidak bertuan''


Tanggal 30/03 hari pemilihan Senator untuk parlemen tertinggi di Negeri Thailand. Akan tetapi suara rakyat Melayu Patani di propinsi Selatan tidak berlaku paraf pada nama calon senator yang mencalonkan diri. Akan tetapi terdapat di beberapa kartu pemilihan ada tertulis dengan kata 'Patani Merdeka'. Terdapat juga di beberapa tempat terkibar spanduk dengan tertulis kata serupa: 'Patani Merdeka' dalam guna tulisan 'Jawi' (Melayu Arab). 

Mengingat dengan ini, dapat dilihat bahwa, di satu pihak rakyat di wilayah Selatan tidak pernah merasa bagian dari Thailand. Namun, di pihak lain, mereka ikut berkompetisi dalam politik nasional.

Seperti halnya juga rakyat etnis Melayu di Thailand Selatan selalu merasa diabaikan pemerintah pusat dalam segala hal, termasuk dalam Hukum, Politik, Sosial dan Ekonomi. Tapi saat pemimpin nasional Thailand berasal dari wilayah Selatan, hal ini tidak segera dibenahi. Selatan Thai (Patani) tetap seperti beberapa dekade silam.

Dalam hal ini, masalahnya bukan siapa yang berkuasa di bahgian Selatan. Sebab terbukti persepsi pada Selatan Thailand sebagai daerah pembuangan tetap tidak berubah. Padahal, persepsi inilah yang menyebabkan daerah warga Melayu Patani di Selatan Thailand makin tidak terurus dan mirip daerah tidak bertuan.

Situasi demikian menyebabkan rakyat teralienasi* dan tidak merasa bagian dari Thailand. Lantas mereka berusaha menghindar dari pejabat maupun birokrasi pemerintah, sementara pemerintah mencurigai mereka sebagai kaum separatis maupun militan.

*Teralienasi: Keadaan merasa terasing atau terisolasi. Konsep ini di gunakan oleh Karl Marx untuk nenunjukan keterasingan menusia yang disebabkan oleh adanya persaiangan dan sikap egoisme, sehingga orang tidak lagi saling menghargai tetapi saling memanfaatkan. Lihat dalam Marbun, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, 2002, hlm.16.