Right Of Self Determination - Give Back For The PATANIAN Entire Land

Jumat, Maret 09, 2012

Mahasiswa dan Mahasisiwi di Selatan Thailand Memperingati ''International Women Day''

08 March 2012
Hari perempuan internasional atau sedunia yang jatuh tanggal 8 Maret memiliki arti makna dalam sejarah yang panjang tersebut, tergambar atau terekam berbagai peran para Perempuan untuk melakukan sebuah perubahan yang mengubah sejarah dunia.
Perayaan hari perempuan sedunia memang masih asing di Thailand Selatan, belum begitu banyak kegiatan yang dilakukan masyarakat atau Mahasiswa-siswi seperti aksi turun ke jalan saat memperingati hari-hari yang serupa ini.
Belum tuntas bangsa ini berbenah diri atas segala kemelut yang membelenggu nasib etnis Melayu Patani di negeri yang terlatak di Asia Tenggara, Malah harus melihat pemberitaan sosok yang terancam pembunuhan, rogol, penganiaan, pelanggaran HAM Berat dan sebagainya. 

Sebagian masyarakat etnis Melayu di Selatan Thailand mungkin sudah bosan dan enggan mendengar kasus yang terus-menerus menimpa warga negaranya. Mulai dari kasus pembunuhan, perkosaan, penyiksaan, pelecehan seksual, selalu ada saja kasus serupa.

Masyarakat Melayu di provinsi selatan tidak mengerti banyak tentang hukum, dan tidak mengerti bagaimana keluar dari problematika yang kini mengancam nyawanya.

Selasa, 8 Maret lalu adalah Hari Perempuan Sedunia. Semangat untuk membebaskan jeratan 'hukum rimba' di bahgian selatan menjadi momen tersendiri dan simbol keprihatinan Mahasiswa dan Mahasiswi atas penindasan dan masih besarnya sikap diskriminasi serta komodifikasi terhadap yang majoriti adalah perempuan yang beretnis Melayu di nagara gajah putih ini.

Sejumlah upaya dan penanganan yang dilakukan pemerintah Thailand sendiri pun seakan tidak menemukan jalan keluar, kehilangan akal dan bahkan badan yang berbasis pada pelayanan dan perlindungan yang aman dan damai pun tumpul dan berkarat di saat mencuatnya kasus dari diskriminasi dan penindasan yang di lakukan oleh aparat tentera kerajaan. 

Permasalahan isu kekerasan di Selatan Thailand dirumitkan lagi dengan tindakan pasukan tentera pemerintah Thailand yang meninggalkan begitu saja 1.000 wanita Melayu muslimah setelah pelecehan seksual dan  menjalin intim atau menikah dengan mereka.

Pada 22 Januari lalu, seorang prajurit Thailand yang bernama Winai bertemu dengan korban,  menggoda korban lalu membawanya ke suatu tempat terpencil di sebuah rumah sakit dekat pos kontrol militer.

Lalu terjadilah pemerkosaan yang direkam seorang lagi tentara pemerintah bernama Yot.
Meskipun remaja itu jelas mencoba menyembunyikan mukanya dari kamera. Prebet Winai tersenyum dan tertawa sementara Prebet Yot memberi semangat kepada rekannya.

Setelah itu, Yot mengirim vidio tersebut kepada teman-temannya yang akhirnya sampai diterima rekan korban. Vidio tersebut disampaikan ke orang tua korban yang kemudian mengadu ke pihak berwenang.

Keselamatan muslimah dari perkosaan, penyiksaan, pelecehan seksual oleh aparat tentera kerajaan Thailand selalu ada. Semakin hari semakin berkurang, bahkan memburuk terjadi. Sebagaimana yang telah terjadi beberapa waktu lalu di sebuah kampung di Thailand Selatan. Satu pasukan masuk ke sebuah kampung dan menuju ke sebuah rumah, kemudian menembak kepala keluarga, di dalam rumah tersebut.

Salah seorang anak perempuanya dapat menyelamatkan diri, namun yang satu lagi ditangkap dengan tidak ada perikemanusiaan lagi, dia dirogol dan di bunuh. Sedangkan si Ibu melarikan diri menuju rumah adiknya.

Dia dan adiknya pingsan ketika melihat dua anak adiknya di tembak. Kekejaman tidak berhenti sampai disitu saja, mereka ditutup dengan selimut dan dibakar.

Sebelum pasukan itu pergi dari tempat itu mereka menembak rumah-rumah secara membabi buta. Bisa kita bayangkan betapa mirisnya kejadian tersebut. Namun, itu hanya satu contoh dari sekian banyak kekejaman yang menimpa terhadap etnis Melayu Muslim di Selatan Thailand.
 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar